Kamis, 10 Januari 2008

Selingkuh di Indonesia

Oleh: Hartono Ahmad Jaiz
(Wartawan dan Penulis Buku-buku Islami)
Lafal selingkuh berasal dari Bahasa Jawa yang artinya perbuatan tidak jujur, sembunyi-sembunyi, atau menyembunyikan sesuatu yang bukan haknya. Dalam makna itu ada pula kandungan makna perbuatan serong. Namun lafal selingkuh itu mencuat secara nasional dalam bahasa Indonesia dengan makna khusus hubungan gelap atau tingkah serong orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain. Makna khusus dari lafal selingkuh itu tiba-tiba mencuat karena dimunculkan dalam penerjemahan berita dunia, tentang hubungan gelap Lady Diana isteri Pangeran Charles di Inggeris dengan lelaki lain bernama Dodi Al-Fayed. Lebih-lebih hubungan gelap itu berakhir dengan tragis, 31 Agustus 1997. Kematian Diana ini dalam keadaan sedang pacaran berduaan dengan lelaki bukan suaminya dan bukan mahramnya, di mobil, tengah malam, ketika mobil itu melaju sangat cepat lalu menabrak pilar terowongan di Paris hingga mobilnya ringsek, Ahad 31 Agustus 1997.
Dari empat orang yang berada di dalam mobil itu, tiga di antaranya tewas. Yakni, Henri Paul sopir yang mabuk (kadar alkohol dalam darahnya 1,8 gram per liter, tiga kali lipat dari batas toleransi di Prancis), Diana, dan Dodi Al-Fayed pacar Diana yang berkebangsaan Arab Mesair. Sedang yang satu, lelaki pengawal Diana, Trevor Rees-Jones, yang duduk di samping sopir dikabarkan luka-luka berat. (Hartono Ahmad Jaiz dkk, Kematian Lady Diana Mengguncang Akidah Umat, Darul Falah, Jakarta, cet. 1, 1418 H, halaman 3-4).
Lafal selingkuh menjadi sangat terkenal dengan makna hubungan gelap orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain adalah sebelum kematian Lady Diana. Ketika itu, Diana masih bersuamikan Pangeran Charles, membeberkan hubungan gelapnya dengan lelaki lain. Hubungan gelap itulah yang oleh media massa Indonesia diterjemahkan dengan perselingkuhan.
Sehingga, begitu Bahasa Jawa selingkuh ini mencuat jadi bahasa Indonesia tahun 1995-an, langsung punya makna lain (tersendiri) yaitu hubungan gelap ataupun perzinaan orang yang sudah bersuami atau beristeri. Ini merupakan perpindahan makna bahasa serta budaya bahkan ajaran. Sebab, budaya Barat bahkan hukum Barat, yang namanya zina itu hanya kalau sudah bersuami atau beristeri. Kalau bujangan atau suka sama suka, dianggapnya tidak. Itu sama sekali berlainan dengan Islam. Karena menurut Islam ada zina muhshon (yang sudah pernah berhubungan badan karena nikah yang sah, hukumannya menurut Islam, dirajam/dilempari batu sampai mati); ada zina ghoiru muhshon (belum pernah nikah, hukumannya dicambuk 100 kali dan dibuang setahun bagi lelaki, dan didera 100 kali bagi perempuan).
Hukuman Zina dan Larangan Membelanya
Allah swt berfirman:
1. (Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan, dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatnya.
2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya, mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.
3. Laki-laki yang berzina tidak akan mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak akan mengawininya melainkan laki-laki yang berzina atau laki-laki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang mukmin. (QS An-Nur/ 24:1,2,3).
Penjelasan
1. Al-Qurthubi berkata: Keutamaan surah ini mengandung hukum-hukum menjaga kehormatan diri dan nama baik (keluarga). Umar ra pernah mengirim surat kepada penduduk Kufah:
`Ajarkanlah kepada perempuan-perempuanmu surah an-Nur.` Aisyah ra (juga) pernah berkata:
Janganlah kamu tempatkan perempuan-perempuan di dalam kamar-kamar saja, ajarlah mereka surah an-Nur dan (ajari) menenun. (Tafsir Al-Qurthubi 12:158).
2. Pada ayat kedua, Allah SWT menerangkan bahwa orang-orang Islam yang berzina, baik perempuan maupun laki-laki yang sudah aqil baligh, merdeka dan ghoiru muhshon (belum pernah nikah), wajib didera seratus kali, dera (jilid/ cambukan/ pukulan) sebagai hukuman atas dosa dan maksiat yang telah diperbuatnya itu.
Yang dimaksud dengan muhshon ialah perempuan yang pernah mempunyai suami yang sah, atau laki-laki yang pernah mempunyai isteri yang sah. (Yang belum pernah menikah disebut ghoiru muhshon).
Bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhirat, tidak dibenarkan bahkan dilarang menaruh belas kasihan kepada pelanggar-pelanggar hukum itu, yang mengakibatkan tidak menjalankan ketentuan yang telah jelas digariskan di dalam Agama Allah bagi pelanggar-pelanggar (pezina) tersebut.
Di dalam menegakkan hukum, cukuplah jadi contoh junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw yang pernah bersabda:
Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti saya potong tangannya. (HR An-Nasa’i).
Hukuman dera hendaklah dilaksanakan oleh yang berwajib dan dilakukan di tempat umum, sehingga dapat disaksikan oleh orang-orang banyak, dengan maksud supaya orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman dera itu mendapat pelajaran, sehingga mereka benar-benar dapat menahan dirinya dari berbuat zina.
Adapun pezina-pezina muhshon, baik perempuan maupun laki-laki, hukumannya ialah dilempar dengan batu (dirajam) sampai mati. Juga hukuman rajam ini dilaksanakan oleh yang berwajib di tempat umum yang dapat disaksikan oleh orang banyak. Hukum rajam itu didasarkan atas sunnah Nabi SAW. (lihat Tafsir Depag RI, juz 18, hal 730).
Di dalam Hadits, Allah berfirman:
Orang laki-laki tua dan orang perempuan tua apabila berzina, rajamlah oleh kamu sekalian mereka itu sampai mati sebagai suatu siksaan dari Allah, sedang Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (HR Ahmad).
Hukuman zina
Lelaki zina yang belum pernah menikah (ghoiru muhshon) didera 100 kali dan dibuang selama setahun. Sedang perempuan zina ghoiru muhshon (belum pernah nikah) cukup didera 100 kali tanpa diusir dari negerinya.
Perkataan Ibnu Umar:
Bahwasanya Nabi saw telah mendera dan membuangnya. Abu Bakar telah mendera dan membuangnya. Dan Umar pun mendera dan membuang nya. (HR At-Tirmidzi)
Jika pelaku zina itu budak (hamba sahaya), maka didera 50 kali, tetapi tidak dibuang. Jika pelaku zina itu lelaki atau perempuan muhshon (telah pernah menikah secara sah dan bersetubuh, lalu melakukan zina) maka dirajam yaitu dilempari batu sampai mati.
Nabi pernah merajam wanita Khamidiyyah dan Ma’iz serta pernah merajam dua orang Yahudi (dalam Hadits shahih). (Lihat Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim, Darul Fikr, halaman 434).
Anggota badan yang dipukul
Ulama sepakat bahwa anggota badan yang harus dijauhkan dari pukulan adalah wajah, aurat (kemaluan) dan tempat-tempat yang membahayakan jiwa apabila terkena pukulan. Ibnu Athiyah meriwayatkan bahwa hal ini telah disepakati oleh ulama tetapi mereka masih berbeda pendapat tentang anggota selain itu.
Seyogyanya orang yang didera itu dilepaskan pakaiannya dan dipukul dalam keadaan berdiri, kecuali hukuman menuduh zina (didera 80 kali) maka waktu dipukul tanpa dilepaskan pakaiannya dan tanpa dibuang kapas atau bulu yang ada di pakaiannya. Sedang perempuan harus dibiarkan pakaiannya dan dipukul dalam keadaan duduk. Dalilnya yaitu riwayat tentang pelaksanaan rajam oleh Nabi saw terhadap orang-orang Yahudi, di mana dalam hadits itu rawinya berkata: Aku lihat yang laki-laki condong kepada yang perempuan untuk melindunginya dari lemparan batu. Ini menunjukkan bahwa yang laki-laki berdiri sedang yang perempuan duduk. Wallahu a’lam. (As-Shobuni, Tafsir Ayat Ahkam, II, 104/ terjemahan).
Cara merajam
Kalau yang dirajam itu lelaki, maka dikenai had (hukuman) rajam, dia berdiri tidak diikat dan tidak digali lubang untuknya, baik ketetapan zinanya itu dengan bukti ataupun dengan pengakuan. Ini tempat kesepakatan antara para fuqoha’ (ahli fiqih). Adapun perempuan maka digali lubang untuknya sampai dadanya ketika dirajam, apabila ketetapan zinanya itu dengan bukti; agar tidak terbuka auratnya. Imam Ahmad berkata dalam satu riwayat, tidak digali lubang untuknya, seperti laki-laki (juga). Orang yang berhak dirajam itu dikeluarkan ke bumi terbuka, dan saksi-saksi memulai merajamnya, bila ketetapan zinanya itu karena saksi, sebagai sunnah menurut Jumhur Ulama, dan wajib menurut Hanafiyah. Imam hadir di sisi perajaman sebagaimana sekumpulan lelaki muslimin hadir. Dia dirajam (dilempari) dengan batu yang sedang. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kementerian Waqaf Kuwait, Juz 22).
Sementara itu Al-Jazairi menjelaskan: Yaitu dengan cara digali lubang ke dalam tanah sampai dengan dadanya. Lalu ia dimasukkan ke lubang itu, dan dilempari (batu) sampai mati, di hadapan imam atau wakilnya dan jama’ah kaum Muslimin, paling sedikit berjumlah 4 orang. Berlandaskan surat An-Nur ayat 2.
Wanita yang berzina muhshon (sudah pernah menikah sah dan bersetubuh, lalu ia berzina) maka diberi hukuman sama dengan laki-laki (dirajam sampai mati pula), hanya saja ia tetap berpakaian, agar jangan sampai terbuka. (Minahjul Muslim, hal 435).
Adapun yang berzina ghoiru muhson (belum pernah nikah) maka didera 100 kali dan pezina lelaki setelah didera 100 kali lalu dibuang setahun seperti tersebut di atas. Penuduh zina yang tidak bisa mendatangkan 4 saksi maka didera 80 kali. Peminum khamr didera 80 kali, tetapi Umar pernah mendera peminum khamr 100 kali karena di bulan Ramadhan, tambahan yang 20 kali itu karena Ramadhan tersebut. Hingga kalau peminum khamr itu merajalela, bisa ditambah pula jumlah deranya. (lihat As-Shobuni, Tafsir ayat Ahkam).
Orang yang melakukan liwath (homoseks atau lesbian, bersetubuh melalui lubang dubur yang bukan suami isteri) hukumannya dirajam sampai mati, tanpa membedakan muhshon atau ghoiru muhshon. Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa di antara kalian menemukan orang yang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseks), maka bunuhlah (kedua-duanya) pelaku dan yang diperlakukan homoskes. Dan barangsiapa kalian temukan dia menyetubuhi binatang maka bunuhlah dia dan bunuh pula binatangnya. (HR Imam Ahmad dan empat Imam, rijalnya tsiqot/ terpercaya, hanya saja ada ikhtilaf, perbedaan pendapat/ Subulus Salam, juz 2).
Dilarang menolong terhukum
Nabi saw bersabda:
Barangsiapa pertolongannya dapat menghalangi pelaksanaan hukuman (had) dari hukuman-hukuman (yang ditentukan oleh) Allah maka benar-benar ia telah melawan Allah mengenai perintah-Nya. (HR Ahmad dan lainnya, dari Ibnu Umar ra, sanadnya jayyid, bagus).
Haramnya memberi pertolongan terhadap hukuman yaitu hadits:
Bahwa sesungguhnya pernah terjadi orang-orang Quraisy menaruh perhatian terhadap seorang perempuan dari suku Makhzumiyah yang melakukan pencurian, lalu mereka bertanya: Siapakah yang akan menyampaikan ihwal perempuan itu kepada Rasulullah saw? Kemudian mereka menjawab: Tidak ada yang berani menghadapnya kecuali Usamah bin Zaid kesayangan Rasulullah saw. Lalu Usamah menyampaikan kepada Rasulullah saw maka wajah Rasulullah saw berubah warna (artinya marah), maka Rasulullah saw bertanya: “Apakah engkau akan memberi pertolongan terhadap hukuman (had) Allah?” Kemudian beliau berdiri menyampaikan sabdanya: Sesungguhnya yang merusak umat terdahulu adalah karena apabila di kalangan mereka itu ada orang yang terhormat mencuri maka mereka membiarkannya, dan apabila ada di kalangan mereka orang lemah yang mencuri maka mereka tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri pasti kupotong tangannya. (HR Muslim dari Aisyah ra).
Demikianlah hukum mengenai zina dan larangan menolong atau meringankan hukuman atas pelakunya. Selanjutnya mari kita kembali ke lafal selingkuh yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Sampai sekarang, lafal selingkuh lebih dekat kepada makna hubungan gelap antara orang yang sudah bersuami atau beristeri dengan pasangan lain. Kalau pacaran dianggap bukan selingkuh, tetapi kalau diam-diam ada pacar lain lagi, baru dianggap selingkuh. Ini semua makna-makna yang berkembang, tetapi sebenarnya tidak sesuai dengan syari’at Islam, karena Islam tidak membolehkan pacaran.
Definisi selingkuh
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, makna dari lafal selingkuh masih seperti aslinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Kedua, cetakan ke-7, 1996, hal. 900, selingkuh adalah:
1. Tidak berterus terang; tidak jujur; suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; serong;
2. Korup; menggelapkan uang.
Dilihat dari definisi itu, lafal selingkuh sekarang sudah mengalami perubahan makna, menjadi makna khusus, yaitu hubungan gelap bagi orang bersuami atau beristeri. Dan perbuatan itu dianggapnya lumrah, biasa. Ini yang menjadi persoalan besar, karena jumlahnya pun makin bertambah. Lebih memprihatinkan lagi, perzinaan yang membahayakan bagi keluarga, masyarakat, bahkan kesehatan dan keturunan ini tidak dipersoalkan, sedang poligami yang tidak ada soal menurut Islam, justru dipersoalkan oleh mulut-mulut yang tak bertanggung jawab. Aneh memang.
Bagaimana masyarakat tidak terseret oleh “budaya selingkuh”, wong yang namanya tokoh selingkuh tingkat dunia, Lady Diana, justru kematiannya dipuja-puja, diucapi ucapan duka-cita, bahkan ada khotib Jum’at yang mendoakannya di satu masjid di Jakarta (padahal Lady Diana itu orang kafir, yakni bukan Islam), gara-gara gencarnya televisi dan media massa lainnya menyiarkan secara besar-besaran dan berlama-lama. Masyarakat menjadi larut dalam kesedihan atas meninggalnya tokoh selingkuh itu akibat siaran langsung televisi-televisi swasta di Indonesia dan dunia selama prosesi penguburan Diana ala gerejani –Kerajaan Inggeris, Sabtu 6 September 1997 yang berlangsung 7 jam lebih. Siaran tokoh selingkuh ini kabarnya ditonton 2,5 miliar orang sedunia dari 187 negara, sampai tv-tv swasta Indonesia saat itu tidak ada yang menyiarkan adzan maghrib. Astaghfirullahal ‘adhiem, tokoh selingkuh telah jadi berhala yang diarak bagai patung anak sapi yang disembah-sembah masyarakat Bani Israel atas bujukan Samiri di zaman Nabi Musa as.
Media massa yang menggantikan fungsi Samiri melakukan penggiringan opini dan perasaan masyarakat untuk menjerumuskan ke arah yang sangat jauh dari aturan manusia secara umum yang wajar, apalagi aturan-aturan Islam. Menggiring untuk larut dan ikut bersedih atas kematian tokoh selingkuh alias berhubungan gelap dengan pasangan yang tidak sah, dan secara aqidah adalah kafir (bukan Islam).
Akibatnya, masyarakat dengan segera berubah menjadi tidak normal. Buktinya? Berita berikut ini salah satu bukti, yaitu pernikahan menurun drastis, perceraian akibat perselingkuhan semakin naik, dan perempuan menggugat cerai ke suaminya makin naik bahkan lebih banyak dibanding yang ditalak oleh suami. Berikut ini beritanya:
Setiap Dua Jam Ada Yang Cerai Karena Selingkuh
Mualim, petugas di PA (Pengadilan Agama) Tulungagung, mengungkapkan ada 200-250 kasus perceraian yang diproses PA Tulungagung setiap bulan. Kebanyakan dipantik selingkuh.
“Kasus perselingkuhan selalu ber-ending perceraian. Tak ada perselingkuhan dengan happy ending,” katanya.
Bahkan di Tulungagung, akronim selingkuh sebagai ‘selingan indah, keluarga utuh’ tak berlaku. Di sana, akronim selingkuh adalah ‘selingan indah, keluarga runtuh’.
Perceraian akibat perselingkuhan kini bukan lagi monopoli artis yang kisahnya sering dikuliti di acara infotaiment. Selingkuh kian meluas dan mengancam keluarga, unit terkecil bangsa ini.
Klinik Pasutri yang dikelola dr Boyke Dian Nugraha pernah melakukan penelitian dengan sample 200-an orang pasein. Hasilnya, empat dari lima eksekutif pria berselingkuh. Perbandingan selingkuh pria dan wanita pun mencapai 5:2. “Itu baru yang ketahuan lho-karena dia mau cerita ke dokter,” katanya.
Selingkuh, juga bisa menjadi akronim ’selingan indah karier runtuh’. Hal itulah yang terjadi dengan perselingkuhan anggota DPR, Yahya Zaini, dengan pedangdut Maria Eva. Ketika rekaman hubungan mesum keduanya beredar, karier politik Yahya pun rontok bak rumah abu. Padahal, Yahya sempat jadi calon menteri lewat reshuffle kabinet, Maret 2007 ini.
Lalu, seberapa besar sesungguhnya ancaman selingkuh terhadap keluarga-keluarga di Indonesia? Pergerakan data ststistik dari Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama menguaknya. Selingkuh telah menjadi ‘virus’ keluarga nomor empat.
Tahun 2005 lalu, misalnya, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus! Alhasil, dari 10 keluarga yang bercerai, satu diantaranya karena selingkuh. Rata-rata, setiap dua jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh.
Perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total perceraian tahun 2005. Perceraian gara-gara selingkuh juga sepuluh kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang hanya 916 kasus atau 0,6 persen.
Dan perselingkuhan itu diprediksi akan terus naik. “Karena banyak tokoh yang melakukannya,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK), Ratna Batara Munti.
“Selingkuh adalah fenomena tak sehat bagi bangsa ini. Selingkuh itu zina,” tandas Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag. (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 1).
Perkara Perceraian di Indonesia
Tahun__Cerai____Talak____Cerai Gugat (dari isteri)
2000 ___63.745___81.864___(56, 2%)
2001 ___61.593___83.319___(57,4%)
2002 ___58.153___85.737___(59,5%)
2003 ___52.360___80.946___(60,7%)
2004 ___53.509___87.731___(62,1%)
2005 ___55.536___94.859___(63%)
Sumber: Ditjen PPA (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 02)

Pernikahan turun
Yang memprihatinkan, saat angka perceraian terus meningkat dari tahun ke tahun, pernikahan justru terus mengalalami penurunan. Mungkinkah lembaga pernikahan tak lagi menarik?
Jumlah pernikahan tahun 2005 lalu, bahkan hanya sedikit meningkat dibanding 1950-an, di saat jumlah penduduk baru 50 juta orang. “Jumlah pernikahan tahun 1950-an lalu sudah mencapai 1,4 juta, lho,” kata peneliti ahli Litbang Departemen Agama, Moh Zahid. (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 02).
Elit rusak
Rusaknya moral kaum elit adalah menyangkut selingkuh secara utuh, yaitu makna secara keseluruhan. Baik selingkuh yang maknanya korupsi, tidak jujur, serong, maupun zina. Betapa banyak orang elit, pejabat, eksekutif dan para pengambil kebijakan yang justru diseret ke pengadilan sebagai tersangka korupsi. Itu yang ketahuan. Hanya saja, sayangnya tidak ada kabar yang masuk pengadilan gara-gara zina. Diadili saja tidak, apalagi dirajam, yaitu dibunuh dengan cara dilempari batu. Kalau yang cerai gara-gara selingkuh saja tiap dua jam ada, lantas kalau mereka diadili, berarti tiap dua jam ada sepasang selingkuh yang divonis mati dengan dirajam.
Karena yang diseret ke pengadilan hanya yang korupsi, bukan yang berzina, maka suatu ketika lembaga ulama mengeluarkan semacam fatwa atau imbauan hanya menyangkut pemberantasan korupsi, bukan untuk mengadili yang berzina. Apakah dianggap para koruptor dari kalangan eksekutif itu tidak juga berzina?
Ternyata hasil penyeledikan dokter menunjukkan, 80% eksekutif pria berselingkuh alias berzina. Penyelidikan itu belum menunjukkan mesti demikian keadaan para eksekutif, namun yang jelas, mereka yang diselidiki dan mengaku, hasilnya seperti itu. Beritanya mari diulang lagi:
Klinik Pasutri yang dikelola dr Boyke Dian Nugraha pernah melakukan penelitian dengan sample 200-an orang pasein. Hasilnya, empat dari lima eksekutif pria berselingkuh. Perbandingan selingkuh pria dan wanita pun mencapai 5:2. “Itu baru yang ketahuan lho-karena dia mau cerita ke dokter,” katanya. (Republika, Ahad, 7 Januari 2007/ 17 Dzulhijjah 1427H, halaman 1).
Dari lima orang hanya satu yang tidak berselingkuh, itu kenapa? Tentu banyak faktornya, dan sebenarnya bangsa ini tidak langsung perbuatan bejatnya semayoritas itu. Ini mesti ada penyebab-penyebabnya. Di antaranya adalah tidak diperkenankannya berpoligami, karena ada aturan ketat, harus dengan syarat minta izin isteri dan sebagainya, dan hampir sulit sekali. Di samping itu, dipersilahkan pula untuk berzina. Kalau berzina tidak dipersoalkan, bahkan sarana-sarana sudah ada, dan sistemnya tidak mempersoalkannya. Lebih dari itu, justru perzinaan jadi salah satu lahan pemasukan bagi pemerintah daerah atau orang-orang yang berbisnis maksiat.
Kondisi yang sudah jelas rusak itu ketika kerusakannya menimbulkan bencana, misalnya menjalar penyakit AIDS, maka bukan perzinaan yang membahayakan itu yang diberantas, tetapi tetap saja dilindungi agar terus berjalan, hanya disuruh memakai kondom. Bahkan disebari kondom gratis. Itu artinya, silahkan berzina, hanya saja pakailah kondom. Itulah jahatnya sistem ini.
Kenapa kondisi Indonesia sampai separah ini? Jawabannya, bahwa sebenarnya ada kekuatan-kekuatan jahat secara bersekongkol atau berkomplot yang merusak umat Islam Indonesia ini secara sistematis. Kalau tidak, tentu saja Majalah Playboy yang sudah jelas-jelas simbol kepornoan tentu tidak berani nongol apalagi beredar di Indonesia. Tetapi kenyataannya tetap nekad beredar walau sudah dihadang umat Islam dari sana sini. Itulah beberapa bukti, maka pembahasan disertai data seperti ini perlu ditulis, agar umat Islam menyadarinya. Untuk mengetahui lebih komplit, silahkan baca buku berjudul Wanita Antara Poligami dan Perselingkuhan. Buku tersebut akan diluncurkan pada acara Pameran Buku Islam (Islamic Book Fair) di Istora Senayan, Jakarta, tanggal 3-11 Maret 2007, dan akan dibedah di sana, pada hari Ahad tanggal 11 Maret 2007 jam 10 pagi, insya Allah.
Jakarta, 7 Shafar 1427H (25 Februari 2007)
artikel diambil dari swaramuslim.net

Tidak ada komentar: